
Aku masih ingat betul bagaimana hujan itu turun, pelan tapi pasti, membungkus senja dengan selimut dingin yang menyakitkan. Aku duduk di pojok sebuah kafe kecil, mengaduk-aduk kopi yang sudah dingin. Tidak ada tujuan, hanya gerakan refleks untuk menyibukkan tangan agar pikiranku tidak semakin kacau.
Sore itu, pikiranku penuh dengan satu pertanyaan: kenapa?
Kenapa Reza pergi? Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini? Kenapa dia tak memberiku alasan yang masuk akal?
Pesannya masih ada di ponselku. Pesan singkat yang, sampai detik ini, tetap tak mampu aku cerna:
"Maaf, aku nggak bisa lanjut lagi. Jangan tanya kenapa. Semuanya salahku."
Pesan itu datang dua minggu lalu, tepat setelah kami menghabiskan akhir pekan bersama. Tidak ada tanda-tanda aneh. Reza tertawa, menggenggam tanganku dengan hangat seperti biasa. Tapi ternyata, aku terlalu percaya bahwa segalanya baik-baik saja.
Aku bertemu Reza di tempat ini, kafe kecil yang sekarang jadi saksi kehancuran hatiku. Waktu itu, aku sedang duduk sendirian, menikmati sore setelah hari yang melelahkan di kantor. Aku memesan secangkir latte dan sepotong kue, berharap suasana kafe bisa sedikit meredakan stresku.
Ketika waktunya membayar, aku merogoh tas untuk mengambil kartu kredit, tapi mesin kasir tiba-tiba menolak transaksiku. Aku mencoba lagi, tapi hasilnya tetap sama. Panik mulai menjalar. Aku memeriksa dompet, dan ternyata uang tunai yang kubawa juga kurang.
“Ya Tuhan, maaf banget, saya nggak sadar cash saya nggak cukup,” kataku buru-buru pada kasir, merasa sangat malu.
Di tengah rasa canggung itu, seorang pria di belakangku maju mendekat. “Saya bayarin dulu aja, nggak apa-apa kok,” katanya sambil mengeluarkan dompet.
Aku menoleh, sedikit kaget sekaligus bingung. Dia tampak biasa saja—kaus hitam polos dan jaket denim—tapi senyumnya tulus.
“Ah, nggak usah, mas. Nanti saya cari cara lain,” jawabku, meski aku tahu aku tidak punya pilihan lain.
“Nggak apa-apa, serius. Anggap aja bantu orang di hari yang sial,” ujarnya dengan nada bercanda. Sebelum aku sempat menolak lagi, dia sudah menyerahkan uang tunai kepada kasir.
Aku merasa sangat tidak enak. “Makasih banyak, ya. Tapi, saya janji bakal ganti uangnya secepat mungkin. Boleh minta kontak kamu? Atau mungkin… username Instagram?” tanyaku dengan nada ragu, merasa situasinya sangat canggung.
Dia terkekeh. “Instagram aja, ya. Username-ku @rezapr_,” katanya sambil tersenyum. “Santai aja, nggak usah buru-buru. Aku tahu kamu pasti niat balikin.”
Aku mencatat username-nya cepat-cepat di ponselku sambil mengucapkan terima kasih berulang kali. Karena sudah terlambat untuk sebuah rapat, aku langsung pergi dengan langkah terburu-buru, tapi rasa bersalah itu terus membayangiku sepanjang perjalanan.
Dan begitulah semuanya dimulai. Sejak hari itu, Reza menjadi bagian dari hariku. Kami berbicara tentang banyak hal: buku, film, mimpi-mimpi kecil yang ingin kami wujudkan bersama. Aku jatuh cinta padanya bukan karena sesuatu yang besar, tapi karena hal-hal kecil yang ia lakukan.
Seperti caranya selalu memastikan aku pulang dengan selamat, atau bagaimana dia tersenyum sambil menyebutku “rumah”.
Tapi sekarang, "rumah" itu telah roboh.
Aku menyesap kopi yang sudah tidak lagi hangat, mencoba mengalihkan pikiran. Namun, hidup tampaknya punya cara kejam untuk mempermainkan kita. Tepat saat aku berpikir tak mungkin melihatnya lagi, Reza muncul di pintu kafe.
Dia basah kuyup, seperti baru saja berlari menembus hujan. Matanya bertemu denganku, dan aku bisa melihat ekspresi terkejut di wajahnya.
“Ayla...” Dia menyebut namaku, ragu-ragu, seperti tidak yakin aku benar-benar ada di sana.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Selama dua minggu, aku berharap bisa bertemu dengannya, tapi sekarang, aku hanya merasa marah.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Reza?” tanyaku datar.
Dia berjalan mendekat, menggosok-gosok tangannya yang dingin. “Aku... nggak tahu kamu suka datang ke sini lagi.”
“Oh, jadi aku yang harusnya menghilang?” aku menatapnya tajam. “Reza, aku butuh penjelasan.”
“Ayla, ini bukan waktu yang tepat…”
“Waktu yang tepat?” aku memotong. “Dua minggu, Reza. Dua minggu aku menunggu waktu yang tepat dari kamu. Sekarang kamu di sini, aku butuh tahu kenapa kamu pergi begitu saja.”
Dia menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat. Tapi aku tahu, dia hanya mengulur waktu.
“Aku nggak bisa,” katanya akhirnya. “Aku nggak bisa kasih alasan yang kamu mau dengar.”
Aku tertawa, tapi rasanya hambar. “Jadi itu saja? Kamu meninggalkan aku tanpa alasan, dan sekarang kamu bilang nggak bisa menjelaskan?”
“Ayla…”
“Kalau kamu nggak bisa jujur, aku yang coba menebak,” aku menantangnya. “Ada orang lain? Atau kamu cuma bosan?”
Dia tampak terkejut, tapi tidak membantah. Dan itu membuatku semakin marah.
“Aku pergi karena aku pikir itu yang terbaik,” katanya akhirnya. “Aku nggak cukup baik buat kamu, Ay. Aku cuma akan menyakiti kamu kalau kita terus bersama.”
Aku menatapnya, mencoba memahami. Tapi semuanya terasa seperti kebohongan.
“Kalau kamu pikir aku nggak cukup kuat menghadapi kelemahanmu, maka kamu nggak pernah benar-benar mengenal aku,” kataku dingin.
Dia tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, dengan wajah penuh penyesalan yang terlambat.
Aku bangkit dari kursi, mengambil tasku. “Kalau kamu nggak mau berjuang, aku juga nggak akan memaksa. Tapi setidaknya aku tahu, yang kamu hancurkan bukan cuma hubungan kita, tapi juga kepercayaanku.”
Tanpa menunggu jawaban, aku meninggalkannya di kafe itu.
Hujan menyambutku di luar, deras dan dingin. Aku tidak peduli. Aku berjalan menembusnya, membiarkan air membasahi tubuhku.
Mungkin hujan ini akan membawaku ke suatu tempat yang lebih baik. Mungkin tidak. Tapi aku tahu satu hal: aku akan baik-baik saja.
Senja perlahan memudar di balik awan, dan untuk pertama kalinya, aku melihat secercah cahaya di tengah gelapnya langit.
Bukan karena aku sudah melupakan Reza, tetapi karena aku tahu, aku bisa berjalan tanpa dirinya.
Dan di sinilah aku sekarang, menceritakan kisah ini kepadamu. Bukan untuk meminta simpati, tetapi untuk memberitahumu sesuatu yang penting: kadang-kadang, jawaban atas pertanyaan "kenapa" tidak akan pernah kita dapatkan.
Tapi itu tidak apa-apa. Karena hidup terus berjalan, seperti senja yang selalu hadir di balik hujan.